Selasa, 03 April 2012

Pedagang Asongan: ‘Pengusaha’ Yang Tak Tersentuh Zaman

Sebenarnya tulisan yang saya tampilkan saat ini merupakan salah satu tugas akhir (kalo ga salah tugas praktik) jaman SMA dulu. Kami diharuskan mewawancarai pihak-pihak yang sudah ditentukan sebelumnya. Nah, kelompok saya kebagian tugas untuk mewawancari para pedagang asongan. Dan hasilnya dikumpul dalam bentuk artikel. Siapa tahu ada perusahaan percetakan (koran) yang mau dengan senang hati menerbitkannya. hehehe

Banyak sekali nilai yang bisa diambil dari kesempatan untuk mewawancari, bercengkrama dan bertukar pikiran dengan para pedagang asongan, bahwa hidup tidak semudah membalik telapak tangan. Peka terhadap orang lain bisa membuat  hidup menjadi lebih indah. Mencoba merasakan apa yang mereka rasakan setiap hari, hingga akhirnya bisa membuat kita menjadi orang yang bersyukur terhadap rahmat, berkah, nikmat dan Rezeki yang sudah diberikan oleh-Nya :)

MEDAN: Pedagang asongan atau ‘Pengasong’ kian menjamur di Medan, terlebih lagi dengan pihak terkait yang seolah mengabaikan kesejahteraan mereka. Mereka terpaksa mengasong karena jeratan ekonomi yang memaksanya untuk terus hidup. “Kami mengasong karena tak ada pekerjaan lain, mencari pekerjaan di zaman sekarang itu sulit. ” ungkap Anisa (29), ibu dari 1 orang anak.
            Modal materi juga menjadi masalah besar, “Dulu di era Megawati, segalanya murah. Dengan modal Rp. 200 ribu saja kami sudah bisa membeli semua keperluan untuk mengasong. Labanya juga besar. Tapi sekarang kami mengeluarkan modal berkisar Rp. 500 ribu – Rp. 1 juta. Kebutuhan sehari-hari terkadang tidak tercukupi.” Tandas Abdullah (50) saat ditanyai, selasa (9/2). Penghasilan para pengasong tidaklah cukup untuk memenuhi biaya sehari-hari, ditambah dengan keperluan sekolah anak, berbagai anggaran, dsb, karena hanya mendapatkan Rp. 30 ribu – Rp. 50 ribu keuntungan kotor per hari.
            Sebagian besar para pengasong menjajakan asongannya di tiap persimpangan jalan raya dan mulai bekerja di pagi hari dan berhenti di sore hari bahkan sampai larut malam. Tidak sedikit anak di bawah umur yang mengasong menggantikan orangtuanya dan hal ini mengharuskan meraka merantau ke kota besar demi membantu memenuhi kebutuhan keluarganya di kampung. Tak ada pilihan lain selain putus sekolah bagi generasi penerus bangsa ini.
            Mengasong juga bukanlah hal mudah. Mereka sering mendapatkan perlakuan buruk dari pembeli (yang kebanyakan supir angkutan). Misalnya, ketika sedang menjajakan asongannya dan pembeli sudah mendapatkan benda yang mereka inginkan, para pembeli serta-merta pergi meninggalkan si pengasong tanpa memberikan uang.
            Para pengasong berharap agar Pemda lebih memperhatikan dan memperdulikan kesejahteraan hidup mereka. Hingga akhirnya tidak ada lagi pedagang asongan yang dijumpai di kota-kota besar. Khususnya untuk pengasong dibawah umur yang lebih berhak duduk dibangku sekolah dan menerima pelajaran, dibandingkan dengan turun ke jalanan untuk mencari penghasilan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar