Sebenarnya tulisan yang saya tampilkan saat ini merupakan salah satu tugas akhir (kalo ga salah tugas praktik) jaman SMA dulu. Kami diharuskan mewawancarai pihak-pihak yang sudah ditentukan sebelumnya. Nah, kelompok saya kebagian tugas untuk mewawancari para pedagang asongan. Dan hasilnya dikumpul dalam bentuk artikel. Siapa tahu ada perusahaan percetakan (koran) yang mau dengan senang hati menerbitkannya. hehehe
Banyak sekali nilai yang bisa diambil dari kesempatan untuk mewawancari, bercengkrama dan bertukar pikiran dengan para pedagang asongan, bahwa hidup tidak semudah membalik telapak tangan. Peka terhadap orang lain bisa membuat hidup menjadi lebih indah. Mencoba merasakan apa yang mereka rasakan setiap hari, hingga akhirnya bisa membuat kita menjadi orang yang bersyukur terhadap rahmat, berkah, nikmat dan Rezeki yang sudah diberikan oleh-Nya :)
MEDAN: Pedagang asongan
atau ‘Pengasong’ kian menjamur di Medan, terlebih lagi dengan pihak terkait
yang seolah mengabaikan kesejahteraan mereka. Mereka terpaksa
mengasong karena jeratan ekonomi yang memaksanya untuk terus hidup. “Kami
mengasong karena tak ada pekerjaan lain, mencari pekerjaan di zaman sekarang itu
sulit. ” ungkap Anisa (29), ibu dari 1 orang anak.
Modal materi juga menjadi masalah besar, “Dulu di era
Megawati, segalanya murah. Dengan modal Rp. 200 ribu saja kami sudah bisa
membeli semua keperluan untuk mengasong. Labanya juga besar. Tapi sekarang kami
mengeluarkan modal berkisar Rp. 500 ribu – Rp. 1 juta. Kebutuhan sehari-hari
terkadang tidak tercukupi.” Tandas Abdullah (50) saat ditanyai, selasa (9/2). Penghasilan
para pengasong tidaklah cukup untuk memenuhi biaya sehari-hari, ditambah dengan
keperluan sekolah anak, berbagai anggaran, dsb, karena hanya mendapatkan Rp. 30
ribu – Rp. 50 ribu keuntungan kotor per hari.
Sebagian besar para pengasong menjajakan asongannya di tiap
persimpangan jalan raya dan mulai bekerja di pagi hari dan berhenti di sore
hari bahkan sampai larut malam. Tidak sedikit anak di bawah umur yang mengasong
menggantikan orangtuanya dan hal ini mengharuskan meraka merantau ke kota besar demi membantu memenuhi kebutuhan keluarganya di kampung. Tak ada pilihan
lain selain putus sekolah bagi generasi penerus bangsa ini.
Mengasong juga bukanlah hal mudah. Mereka sering
mendapatkan perlakuan buruk dari pembeli (yang kebanyakan supir angkutan).
Misalnya, ketika sedang menjajakan asongannya dan pembeli sudah mendapatkan
benda yang mereka inginkan, para pembeli serta-merta pergi meninggalkan si pengasong
tanpa memberikan uang.
Para pengasong berharap agar Pemda lebih memperhatikan
dan memperdulikan kesejahteraan hidup mereka. Hingga akhirnya tidak ada lagi
pedagang asongan yang dijumpai di kota-kota besar. Khususnya untuk pengasong
dibawah umur yang lebih berhak duduk dibangku sekolah dan menerima pelajaran,
dibandingkan dengan turun ke jalanan untuk mencari penghasilan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar