Jumat, 30 Maret 2012

Cognitive: 4 Steps of Problem Solving

Pengalaman yang akan saya uraikan kali ini berhubungan dengan Problem Solving, lebih tepatnya mengenai tahapan Problem Solving. Menurut Wallas proses Problem Solving terdiri dari 4 tahapan, yaitu:
1.      Preparation
2.      Incubation
3.      Illumination
4.      Verification

Preparation (Perumusan masalah): Masalah yang saya hadapi pada saat itu adalah ketika saya diharuskan untuk membuat sebuah essay mengenai suatu topik: Mahasiswa dan Hari Esok, sebagai syarat utama masuk ke salah satu UKM yang ada di Universitas Sumatera Utara. Waktu yang saya miliki pada saat itu tidak terlalu banyak, sedangkan deadline pengumpulan essay tersebut sudah semakin dekat. Mau tidak mau saya harus mencurahkan segala paradigma yang saya miliki mengenai Mahasiswa dan Hari Esok. Tapi saya belum mendapat inspirasi yang tepat untuk memulai tulisan saya pada saat itu.

Incubation: Kemudian saya berinisiatif untuk merenung. Tapi bukan hanya sekedar merenung, saat itu saya juga menggunakan lagu-lagu sebagai bahan perenungan, dengan harapan saya bisa mendapatkan inspirasi dari lirik-liriknya.

Illumination: Dan benar saja, saya terhenti di sebuah lirik lagu: ‘pilihan’. Saya merasa ada hal yang harus saya ulas berhubungan dengan ‘Pilhan’, ‘Mahasiswa’ dan ‘Hari Esok’. Kemudian, judul yang saya ambil untuk essay saya adalah MAHASISWA DAN JURUSAN.

Verification: Keputusan saya untuk menggunakan judul tersebut dikarenakan realita yang berkembang di tengah masyarakat mengenai dinamika calon mahasiswa dalam memilih jurusan saat kuliah nanti. Ditambah lagi dengan banyaknya adik-adik kelas di SMA saya yang saat ini mulai dibingungkan dengan banyaknya pilihan jurusan dan universitas. Serta fenomena yang didapatkan oleh mahasiswa ketika mereka berada di jurusan yang kurang cocok karena mungkin belum mengerti bagaimana cara memilih jurusan yang baik dan cocok untuk diri mereka sendiri, padahal hal itu bisa manjadi sesuatu yang sangat krusial bagi masa depan mereka.

Kamis, 29 Maret 2012

Pendidikan Anak Pra Sekolah




Pendidikan pra sekolah adalah pendidikan yang diberikan kepada anak-anak balita sebelum masuk sekolah taman kanak-kanak atau pendidikan dasar pertama yaitu sekolah dasar (SD). Sistem pendidikan ini juga sering dinamakan dengan pendidikan usia dini atau PAUD. Sistem pendidikan pra sekolah ini pertama kali dikenal oleh masyarakat ketika mereka mulai menyadari arti pentingnya mendidik anak sejak dini. Sehingga penyelenggaraannya juga lebih sering dilakukan oleh masyarakat sendiri melalui berbagai macam organisasi seperti PKK atau Lembaga Swadaya Masyarakat lain yang bergerak di bidang pendidikan.


Pembelajaran sejak dini harusnya diterapakan para orang tua terhadap anak-anaknya. Bagaikan kertas putih bersih, Seorang anak terlahir masih dalam keadaan bersih dan perlu untuk digoreskan suatu pembelajaran dari orang terdekat dan nantinya lingkunganlah yang sangat berperan aktif. Seperti banyak penulis mengungkap bahwa anak yang baru lahir merupakan organisme dengan kemampuan belajar efisien. Begitu juga dengan Glenn Doman, penulis The Gentle Revolution Series ini menuliskan bahwa semua anak dilahirkan dengan tingkat kecerdasan yang sama.

Demikian juga dengan pendidikan anak usia pra-sekolah (Usia pra-sekolah adalah dimulai sejak anak keluar dari rahim sang ibu hingga dia mulai memulai pendidikan formal, misal kelompok bermain (play group) ataupun Taman kanak-kanak (TK)). Sangat banyak hal yang harus dipelajari oleh seorang anak pada usia ini. Mengapa? Karena landasan utama berpikir mereka ada disini. Seperti halnya Pondasi pada suatu rumah, kokoh tidaknya pondasi sangat mempengaruhi bangunan yang ada diatasnya. Tetapi sangat disayangkan, banyak orang tua yang tidak menyadari betapa sangat pentingnya pendidikan usia dini ini. Anggapan salah bahwa pendidikan anak dimulai saat dia sekolah adalah anggapan yang harus dihindari para orang tua modern. Pendidikan usia dini ini akan sangat membantu dalam proses persiapan seorang anak dalam memasuki masa sekolah dan mencapai keberhasilan.

Demikian juga dengan sikap dan pola asuh orang tua dalam membesarkan anak. Banyak sekali kesalahan yang telah dilakukannya namun sangat sedikit sekali orang tua yang mau mengakuinya atau bahkan berniat mengubahnya. Kesalahan sepele dan sekecil apapun akan berdampak pada perkembangannya kelak .

Ingatlah kata-kata ini: Dari lingkungan hidupnyalah anak-anak akan belajar”.

Adapun tujuan utama dari pendidikan pra sekolah adalah untuk mengembangkan tingkat kecerdasan dan mental baik secara fisik dan rohani, serta membentuk karakter anak agar bisa mengatur perasaan emosi serta punya jiwa sosial yang tinggi. Sehingga ketika mereka masuk pada tingkat pendidikan dasar pertama, anak-anak bisa menyelesaikan masalah yang dihadapi dengan lebih mandiri.

Mendidik anak sejak dini memang perlu melibatkan masyarakat umum bukan sekedar menjadi tugas orangtua semata. Karena rentang usia antara nol hingga enam tahun adalah masa emas dimana otak anak mengalami perkembangan yang sangat pesat hingga mencapai 80%. Pada usia ini anak dengan mudah menyerap berbagai informasi melalui obyek yang dilihat dan diamati.

Namun pada usia ini pula anak belum bisa membedakan mana info yang baik dan yang tidak baik bagi mereka. Dan yang tidak boleh dilupakan, anak-anak ini ketika melakukan pengamatan tidak terbatas pada lingkup keluarganya saja, namun sudah mulai merambah pada lingkungan luar rumah. Dari sini sistem pendidikan pra sekolah untuk mendidik anak sejak dini yang diadakan akan punya peran yang penting.

Sebab pendidikan pra sekolah atau PAUD akan mengajarkan pada anak untuk memilih mana info yang boleh dijadikan contoh dan info yang tidak boleh diserap. Sehingga mereka sudah bisa membedakan perbuatan yang baik dan perbuatan yang merupakan pelanggaran serta tidak boleh ketika masuk pada pendidikan dasar pertama.

Pendidikan pada 3 tahun pertama

Pendidikan pada 3 tahun pertama kehidupan anak akan sangat berpengaruh pada 20 - 25 tahun yang akan datang pada kehidupan anak tersebut. Pendidikan dan cara asuh yang baik akan mencerahkan masa depan anak. Untuk itu, walaupun sebagai orang tua, kewajiban belajar memberikan pendidikan usia dini pada anaknya (usia pra sekolah) sangat mutlak diperlukan demi tumbuh kembang dan masa depan anak yang lebih baik.

Sesibuk apapun anda, sedahsyat apapun pekerjaan anda, pendidikan anak usia dini harus di nomor satukan. Yang pasti bukan hanya sanggup memberi makan, tapi sanggup untuk mencerahkan masa depannya kelak dan ini bukan hanya tugas Bunda, seorang ayahpun harusnya sanggup memberi peran lebih untuk anaknya walaupun Tugas Bunda disini sudah sangat mutlak diperlukan.


Orang Tua juga wajib belajar

Berani belajar dan bertanggung jawab adalah keharusan bagi orang tua. Mari kita sama-sama belajar demi masa depan anak kita dan generasi bangsa kita. Ingat bahwa Dari lingkungan hidupnyalah anak-anak akan belajar dan pendidikan anak usia dini sangat penting dalam kehidupannya kedepan.


Pelajaran yang diberikan pada sistem pendidikan pra sekolah tidak hanya melalui perkataan saja, namun justru lebih mementingkan pada bentuk-bentuk permainan edukatif dan kandungan moral yang tinggi. Jadi anak tidak akan merasa terbebani dan tetap bisa melewati masa kanak-kanaknya yang penuh kegembiraan bersama teman-teman sebayanya.




Rabu, 21 Maret 2012

Memory


Hallooooo :D
Masih membahas tentang Psikologi. Topik yang akan kita ulas kali ini adalah Memory. Waaah, memory?

Yup! Memory atau ingatan adalah sesuatu yang peranannya sangat penting bagi kehidupan kita sehari-hari. Bayangin aja kalau kita hidup tanpa kemampuan untuk mengingat. Pasti susah, susaaaah banget. Hal-hal yang pernah alami tidak pernah masuk dan berproses dalam pikiran kita. Dan ketika ada hal yang menuntut kita untuk merespon sesuatu/stimulus (meskipun stimulus tersebut sudah pernah didapatkan sebelumnya) yang masuk melalui alat indera, maka akan terjadi kebingungan untuk memberikan respon, karena tidak ada ingatan yang bisa membantu kita merespon stimulus tersebut. Sudah menyadari sebagian atau bahkan seluruh peranan dan fungsi memory? Syukurilah kawan ^.^


Nah, bagaimana dengan informasi yang sudah tersimpan? Apakah selamanya ia akan disana?
Tentu saja tidak. Ada peristiwa yang terjadi di proses kognitif kita yang disebut Lupa/forgetting. Pernah mengalaminya? *pernaaaaaaah, sering malah* *keliatan pikun* *maaf*

(Kita akan mengulas tentang Forgetting nanti :D)

Ada yang tidak pernah lupa? Kalau ada, waaaah, hebat! Berarti semua informasi yang masuk, langsung tersimpan ke LTM. *ini si vika ngomongin apa sih? LTM?*
Baiklah, akan saya jelaskan.

sebelum ke LTM, ada proses yang harus dilewati oleh informasi, yaitu:
Sensory Register. Sensory Register ini diibarakan proses regristasi atau pendaftaran. #tsaaaaaaaah
Sensory Register adalah proses pertama tahap pemrosesan memori untuk mengenali stimulus melalui alat indera. Kapasitas memori di Sensory Register adalah unlimited, karena informasi yang masuk juga tidak terhingga banyaknya. Sebuah informasi sebelum masuk memang harus dikenali dan didaftarkan terlebih dahulu.


Setelah informasi melewati Sensory register, maka proses selanjutnya informasi akan masuk ke Short Term Memory (memory jangka pendek). Seperti namanya, informasi yang tersimpan di STM bersifat sementara serta terdapat kemungkinan terjadinya lupa. Informasi di Short Term Memory  hanya akan bertahan selama > 30 detik jika informasi tidak diperbaharui.


Selanjutnya, jika kondisi memungkinkan, maka informasi akan masuk ke LTM, singkatan dari Long Term Memory atau memori jangka panjang. Jadi, semua informasi yang tersimpan di LTM bersifat permanen dan tidak akan hilang. Kapasitas yang terdapat di LTM tidak terbatas.

Berikut skemanya:

nb: 
Encoding: Penklasifikasian informasi
Retrieval: Pemanggilan informasi yang telah disimpan

Dari Sensory Register (Sensory Memory) menuju Short Term Memory ada proses pemberian atensi. Sebuah informasi masuk ke STM harus disertai dengan perhatian, sehingga proses mengingat bisa terjadi.

*tadi dibilang diatas kalo di LTM tidak ada peristiwa Forgetting. Tapi kok di skemanya ada?*

Proses lupa yang terjadi di Long Term Memory tidak sama dengan lupa yang terjadi di Short Term Memory. Peristiwa lupa di LTM tidak benar-benar bararti sebuah informasi akan hilang atau lenyap. Contoh dari proses lupa di LTM adalah ketika kita diberikan pertanyaan tetapi kita belum mampu menjawab pertanyaan tersebut secara langsung karena kita lupa jawaban yang dimaksud, padahal di sisi lain, kita tahu dan pernah ingat jawaban yang dimaksud. Tetapi, justru ketika kita hendak tidur (atau keadaan lain), kita tiba-tiba kembali teringat tentang jawaban yang kita cari tadi siang. “oo iya, jawabannya ini toh..”
*saya cukup sering mengalami kejadian seperti ini -______-*

Lupa di LTM terjadi karena adanya kesalahan dalam proses registrasi.

Analogi: Misalnya kita memiliki tugas untuk membuat makalah. Selesai membuatnya di Ms. Word, kemudian yang kita lakukan adalah menyimpan data tersebut di folder yang kita inginkan (tentu saja folder yang ada hubungannya dengan makalah tersebut). Ataupun jika tidak dalam bentuk folder, nama dokumen akan kita sesuaikan dengan isi makalah. Maka jika suatu saat kita membutuhkan dokumen tersebut, maka akan dengan mudah kita mendapatkannya.

Nah, lupa yang terjadi karena proses registrasi yang salah adalah ketika kita selesai menulis makalah,  kemudian kita lakukan adalah menyimpan dokumen makalah tersebut secara asal-asalan. Dengan nama file yang asal ketik, misal: ‘gvkwygfhxds’ dan bahkan tersimpan secara otomatis di folder yang belum kita sesuaikan sebelumnya. Sehingga, ketika kita memerlukan dokumen itu lagi, akan membutuhkan waktu yang sangaaaaaat lama untuk mendapatkannya, sama seperti proses mendapatkan jawaban secara tiba-tiba pertanyaan yang diajukan kepada kita beberapa jam yang lalu (seperti contoh kasus di atas).

Karena selama rentang waktu pemberian pertanyaan dan mendapatkan jawaban itu terjadi, di saat itulah proses ’search’ seperti di computer terjadi di dalam kepala kita. Proses pencarian itu membuka folder-folder di kepala kita untuk menemukan jawaban yang dimaksud. #weleh
Begitulah kira-kira penjelasan mengenai proses lupa yang terjadi di LTM.

Kalau tadi membahas lupa di LTM, bagaimana lupa bisa terjadi di tempat lain, Sensory Register dan Short Time Memory?
Ada empat faktor yang menyebabkan lupa, yaitu:
1.      Decay Theory: Informasi akan hilang jika tidak sering digunakan (tidak ada proses pengulangan)
2.      Inference Theory: informasi bukan hilang, tetapi dikacaukan dengan masuknya informasi yang mirip dengan informasi yang lama
3.      Recontrction Theory: Informasi berubah bentuk
4.      Motivated Forgetting: informasi memang sengaja dihilangkan. Biasanya berisi informasi-informasi traumatik.

Untuk mencegah lupa ada beberapa tips yang bisa saya sampaikan untuk memudahkan informasi dari STM menuju LTM. Semoga bermanfaat J
·         Sebuah informasi  harus sering-sering digunakan dan diulang-ulang. Seperti halnya mahasiswa yang harusnya sering mengulang-ulang pelajaran, daripada menggunakan SKS (Sistem Kebut Semalam)sebelum ujian :p *bener deh, nyiksa banget itu sistemnya T.T*
·         Ada pemberian makna untuk setiap informasi.
·         Informasi juga bisa dituliskan di media lain, seperti catatan. Sehingga akan memudahkan kita untuk mencari informasi tersebut jika suatu saat kita terlupa. Seperti yang saya lakukan di kuliah PUM II saat itu:



Catatan acakadut. Meskipun begitu, semoga ilmunya ga ilang. hiihih

Mungkin masih banyak metode lain yang bisa digunakan untuk membantu sampainya informasi ke LTM :)
Berhubung saya juga punya tugas mengenai Memory, sekalian aja deh, ini dia:


Pengalaman saya yang berhubungan dengan Memory adalah ketika saya lebih mengingat peristiwa 7 November tahun-tahun yang lalu. Hal ini dikarenakan tanggal tersebut adalah tanggal lahir saya. Tapi mengapa saya justru sering melupakan hal-hal yang baru terjadi beberapa hari, jam atau bahkan menit yang lalu, padahal kejadian di beberapa tahun yang lalu (tepatnya 7 November) masih cukup jelas saya ingat?
Hal ini biasanya terjadi karena saya menganggap 7 November adalah hari yang spesial untuk diri saya, sehingga sebagian besar peristiwa yang terjadi pada hari itu, masih terekam dalam benak saya. Dan biasanya ada saja hal-hal yang terjadi di tanggal tersebut yang me’ngena’ di hati dan pikiran saya. Berupa kejutan ataupun kado yang berasal dari orang tua atau teman-teman saya. Artinya, di hari itu ada proses pemberian makna yang saya lakukan. Sehingga informasi-informasi tersebut lebih mudah masuk ke LTM saya.
Untuk kejadian beberapa hari, jam dan menit yang lalu yang sebegitu mudahnya saya lupakan adalah karena saya tidak memberikan makna, dan saya menganggap hal-hal yang terjadi adalah biasa. Sehingga, tidak ada kesan yang membuat saya mengingat kejadian-kejadian di beberapa waktu yang lalu.

Jumat, 16 Maret 2012

Teori Inteligensi Alfred Binet

Kelompok 1

        Alfred Binet (1875-1911) memulai suatu usaha pengukuran intelligensi dengan mengikuti metoda Paul Broca yang saat itu sangat popular di kalangan ilmuwan. Pengukuran intelligensi termaksud dilakukan dengan cara mengukur lingkaran tempurung kepala anak-anak (kraniometri).
Ketika di tahun 1904 Binet kembali menekuni usaha pengukuran inteligensi, ia meninggalkan sama sekali pendekatan kraniometri dan berpaling ke metoda yang lebih psikologis. Binet  mulai membuat alat baru yang dirancang untuk mengukur ketajaman bayangan  ketahanan dan kualitas perhatian, ingatan, kualitas penilaian moral dan estetika, dan kecakapan menemukan kesalahan logika serta memahami kalimat-kalimat. Sejarah menggariskan bahwa Binet menjadi seorang pemancang tonggak awal perkembangan tes-tes inteligensi modern di seluruh dunia. Pada oktober 1904 Binet diberi tugas oleh menteri pengajaran Prancis untuk meneliti masalah anak-anak lemah mental di sekolah-sekolah Prancis. Untuk itu diperlukan suatu alat ukur yang mampu membedakan mana anak yang lemah mental dan mana yang tidak. Seorang dokter bernama Theodore Simon bersama binet membuat skala inteligensi yang dikenal sebagai Skala Binet-Simon. Skala itu dikenal juga sebagai Skala 1905, terdiri dari 30 soal yang disusun berdasarkan tingkat kesukaran yang semakin meningkat. Dalam skala 1905 itu tidak terdapat petunjuk yang pasti mengenai bagaimana cara menghitung skor yang diperoleh seorang anak.
Pada skala kedua yang dikenal sakala 1908, jumlah tesnya diperbanyak dan beberapa tes pada skala pertama yang terbukti tidak begitu baik dibuang. Kemdian skor anak dalam tes dinyatakan dalam bentuk usia mental yang sama dengan usia kronologis anak normal yang berhasil mengerjakan tes pada level tersebut. Pengertian usia mental adalah sama dengan level mental yang merupakan istilah yang lebih disukai oleh Binet.
Skala Binet-Simon yang terakhir terbit pada 1911 (tahun kematian Binet). Beberapa tes baru ditambahkan pada level-level usia tertentu dan dilakukan pula perluasan soal sampai mencakup pada level usia mental dewasa. Revisi Amerika yang paling terkenal dilakukan oleh Lewis Madison Terman di Stanford University tahun 1916. Sejak itu, skala Sanford-Binet menjadi skala standar dalam psikologi klinis, psikiatri, dan konseling pendidikan.
Pada tahun 1960, mengalami revisi penting. Yaitu (a) konsep IQ deviasi dari Wechsler mulai digunakan pada skala ini dengan cakupan angka mulai dari 30 sampai dengan 170.(b) Skala Stanford-Binet yang semula terdiri atas dua bentuk parallel yaitu Form L dan Form M dijadikan satu Form L-M. dan (c) Tabel konversi IQ diperluas sehingga mencakup pula usia 17 dan 18. Terakhir, versi terbaru skala Stanford-Binet terbit tahun 1986 memuat 4 kelompok penalaran dan berisi berbagai mecam tes baron.

Stanford-Binet Intelligence Scale
Revisi terhadap Skala Stanford-Binet yang diterbitkan pada tahun 1972, yaitu norma penilaiannya yang diperbaharui. Tes-tes dalam skala ini dikelompokkan menurut berbagai level usia mulai dari Usia II sampai dengan Usia Dewasa-Superior. Dalam masing-masing tes untuk setiap level usia terisi soal-soal dengan taraf kesukaran yang tidak jauh berbeda. Bagi setiap level usia terdapat pula tes pengganti yang setara, sehingga apabila suatu tes pada level usia tertentu tidak dapat digunakan karena sesuatu hal maka tes penggantipun dapat dimanfaatkan.
Skala Stanford-Binet dikenakan secara individual dan soal-soalnya diberikan secara lisan oleh pemberi tes. Oleh karena itu pemberi tes haruslah orang yang mempunyai latar belakang pendidikan yang cukup di bidang psikologi, sangat terlatih dalam penyajian tesnya, dan mengenal betul isi berbagai tes dalam skala tersebut. Skala ini tidak cocok untuk dikenakan pada orang dewasa, karena level tersebut merupakan level intelektual dan dimaksudkan hanya sebagai batas-batas usia mental yang mungkin dicapai oleh anak-anak.
Versi terbaru skala Stanford-Binet diterbitkan pada tahun 1986. Dalam revisi terakhir ini konsep inteligensi dikelompokkan menjadi empat tipe penalaran yang masing-masing diwakili oleh beberapa tes. Yaitu penalaran verbal, penalaran kuantitatif, penalaran visual abstrak, memori jangka pendek.

Revisi skala Binet
Dilakukan pertama kali di tahun 1916. Perubahan benar-benar dilakukan sehingga menampilkan suatu tes baru. Untuk pertama kalinya digunakan istilah IQ. Revisi kedua di tahun 1937. Skala diperluas dan distandardisasi ulang berdasar sampel masyarakat AS. Revisi ketiga dilakukan di tahun 1960, menyediakan satu bentuk tunggal yang memuat soal-soal terbaik dari bentuk 1937. Di tahun 1972, tes ini di-restandardisasi.
Penyelenggaraan tes dan Penentuan Skor menggunakan buku-buku kecil berisi kartu-kartu tercetak untuk presentasi, flip-over soal tes, objek tes misal balok, manik, papan bentuk, sebuah gambar besar boneka yang uniseks dan multietnik, buku kecil untuk tester, serta pedoman penyelenggaraan dan pen-skoran skala.
Dalam penyelenggaraan tes Stanford-Binet, kita membutuhkan penguji yang amat terlatih. Ragu-ragu dan gugup bisa menghancurkan rapport, apalagi jika peserta tes masih muda.

sumber:
tengakarta.files.wordpress.com

Psikologi Pendidikan dan Teknologi Pendidikan

  Psikologi Pendidikan adalah bidang yang membantu pengajar atau proses pembelajaran serta memberi kontribusi untuk mengahantar anak-anak meraih masa depan yang baik. Psikologi Pendidikan adalah cabang ilmu psikologi yang mengkhususkan diri pada cara memahami pengajaran dan pembelajaran di lingkungan pendidikan. Dalam pelaksanaannya, teknologi bisa menjadi salah satu fasilitas yang potensial.
      Teknologi bukan hanya membantu anak-anak belajar secara lebih efektif di sekolah, tetapi teknologi juga bisa mendekatkan sekolah ke masyarakat. Di banyak diskrit, murid dan orang tua dapat berkomunikasi dengan guru dan staf sekolah melalui e-mail. Guru dapat memasukkan hasil belajar murid ke halaman Web. Beberapa sekolah menyediakan komputer/laptop yang bisa dibawa pulang oleh murid. Banyak orang tua dan guru melaporkan bahwa koneksi komputer berhasil meningkatkan komunikasi diantara kedua belah pihak.
    Tetapi teknologi itu sendiri tidak selalu meningkatkan kemampuan belajar murid. Dibutuhkan syarat atau kondisi lain untuk menciptakan lingkungan belajar yang mendukung proses belajar murid (Earle, 2002; Sharp, 2002). Kondisi-kondisi ini antara lain (International Society for Technology in Education, 2001): visi dan dukungan dari tokoh pendidikan; guru yang menguasai teknologi untuk pengajaran; standar dan isi kurikulum; penilaian efektivitas teknologi untuk pembelajaran; dan memandang anak sebagai pembelajar yang aktif dan konstruktif.
  Guru yang efektif mengembangkan keahlian teknologi dan mengntergrasikan komputer ke dalam proses belajar di kelas (Male. 2003). Intergrasi disesuaikan untuk mencari pekerjaan di masa depan, yang akan sangat membutuhkan keahlian teknologi dan keahlian berbasis komputer (Maney, 1999).
   Guru yang efektif tahu cara menggunakan komputer dan cara mengajar murid menggunakan komputer untuk menulis dan berkreasi. Guru yang efekif bisa mengevaluasi efektivitas game instruksional dan simulasi komputer, tahu cara menggunakan dan mengajari murid untuk menggunakan alat komunikasi melalui komputer seperti internet. Dan guru yang efektif memahami dengan baik berbagai perangkat penting lainnya untuk mendukung pembelajaran murid yang cacat.


Santrock, J.W. (2008). Psikologi Pendidikan (edisi kedua). Jakarta: Kencana

Operant Conditiong

Nah, setelah Classical Conditioning, ada lagi nih yang namanya Operant Conditioning. Makanan apalagi sih itu? Bukan, itu bukan makanan (keliatan banget pas buat postingan ini lagi laper berat) *tiba-tiba turun ayam goreng* *fokus fokus* lanjuuuuuuuut!

Nama lain dari Operant Coditioning adalah belajar konsekuensi. Ternyata konsekuensi juga dipelajari ya? Iya, bener! Justru konsekuensi tersebut sangat menentukan apakah sebuah perilaku akan dilakukan lagi di masa yang akan datang atau malah dihilangkan sama sekali. Yah, kurang lebih seperti itulah pengertian Operant Conditioning.

Berhubung berbicara tentang konsekuensi, maka di Operant Coditioning  terdapat tiga buah konsekuensi yang mempengaruhi frekuensi munculnya perilaku:
1.      Positive Reinforcement
Setelah seseorang melakukan sebuah perilaku yang dianggap baik, maka pihak lain akan memberikan sebuah Reinforcement atau ‘penguatan’ yang bersifat positif bisa berupa hadiah atau sekedar kata-kata pujian, dengan tujuan agar perilaku tersebut tetap dilakukan kembali di masa yang akan datang.
2.      Negative Reinforcement
Sebaliknya, jika reinforcement positive bertujuan untuk melestarikan perilaku yang dianggap baik, maka negative reinforcement atau penguatan negatif dilakukan untuk menghilangkan perilaku buruk dan menggantinya dengan perilaku yang dianggap lebih baik. Contoh penguatan negatif adalah sindiriran ketika seseorang tersebut melakukan perbuatan yang buruk.
3.      Punishment
Hal yang penting adalah punishment berbeda dengan negative reinforcement. Hukuman memang bertujuan untuk menghilangkan perilaku buruk. Untuk menghukum juga terdapat rambu-rambu yang harus dipatuhi, yaitu:
·         Tidak diperbolehkan menggunakan hukuman fisik, apalagi yang dapat menghasilkan trauma
·         Jangan hanya menghukum tapi berikan juga penguat positif pada perilaku yang benar untuk menggantikan perilaku yang ingin dieliminir melalui hukuman
·         Jangan menghukum “orangnya” tapi “perilakunya”. Hentikan hukuman bila perilaku telah berhenti
·         Jangan campuradukkan hukuman dan hadiah untuk perilaku yang sama
·         Sekali telah memutuskan untuk memulai hukuman, jangan pernah mundur lagi. Karena hal itu akan menghasilkan keambiguan dalam penghilangan perilaku buruk tersebut.

Untuk lebih jelasnya, saya juga telah menghadirkan salah satu kisah saya (saat kecil) tentang Operant Conditioning. Selamat Membaca ^.^

Keadaan belajar operan ini juga terjadi di masa kanak-kanak saya. Lebih spesifiknya lagi,  belajar dengan reinforcement positif dari kedua orangtua saya. Dahulu, ketika saya berhasil melakukan puasa pada bulan Ramadhan sebanyak 30 hari penuh, maka orangtua saya berjanji untuk memberikan hadiah, hadiah yang tentu saja saya inginkan pada saat itu. Hingga suatu saat saya berhasil melakukannya, Dan sesuai dengan kesepakatan, mereka memberikan hadiah kepada saya. Ternyata lebih dari itu, saya juga mendapat ‘penguatan positif’ dari lingkungan keluarga besar saya berupa pujian dan hadiah uang Tunjangan Hari Raya yang lebih besar dibanding ketika saya tidak berpuasa penuh selama satu bulan. Tentu saja hal itu mendatangkan rasa senang kepada saya. Ternyata berlapar-dan-haus selama 1 bulan mendatangkan keuntungan, Tidak sia-sia, pikir saya saat itu. Dan saya semakin termotivasi untuk berpuasa lagi dan lagi.
Tetapi kemudian hal ini disesuaikan dengan pertambahan umur saya. Orangtua dan keluarga besar, tidak selamanya bisa memberikan reinforcement positif seperti yang saya tuliskan diatas tadi. Selain saya beranjak dewasa (bagi seorang perempuan yang kemungkinan tidak bisa berpuasa penuh selama 1 bulan), dorongan dari dalam diri saya juga mengatakan untuk tidak lagi menggantungkan tingkah laku saya -berpuasa penuh di bulan Ramadhan- dengan imbalan THR dan pujian. Dan saya mencoba untuk menggali esensi puasa di bulan Ramadhan yang sebenarnya, berpuasa karena Allah, bukan karena imbalan J

Skinner pernah melakukan penelitian mengenai Operant Conditioning menggunakan seekor tikus. 
Skinner Box

Skinner menempatkan seekor tikus di dalam sebuah kotak yang dikenal sebagai Skinner Box. Awalnya, perilaku yang bisa diamati pada tikus tersebut adalah tikus mulai mencakar-cakar dinding kotak, membaui serta mengamati sekelilingnya. Dengan tidak sengaja, ketika masih dalam proses meng'observasi' sekelilingnya, tikus tersebut menyentuh tuas makanan, kemudian makanan pun berjatuhan. Setiap kali tikus menyentuh tuas, maka Reinforcement yang akan ia dapatkan adalah makanan. Sehingga tikus tersebut akan belajar bahwa setiap kali dia menekan tuas, maka ia akan mendapatkan makanan, dan pribabilitas perilaku tersebut (menekan tuas) akan semakin besar.



Classical Conditioning

Berhubung Classical Conditioning adalah salah satu topik di mata kuliah psikologi umum II, dan saya juga hobi cerita disini, jadilah dengan brutal saya mencoba untuk menuangkan apa yang ada dipikiran saya tentang Classical Conditioning. Selamat membaca dan semoga bermanfaat :D

Apa itu Classical Conditioning? Classical Conditioning merupakan bentuk pembelajaran dimana sebelumnya rangsangan netral dipasangkan dengan unconditioned stimulus (UCS) untuk menghasilkan conditioned  response (CR) yang identik dengan unconditioned response (UCR).” Bingung? Saya juga. Ahahaha..

Memang benar, awalnya saya sempat bingung dengan definisi ini, lumayan ribet soalnya. Tetapi setelah dipahami lebih lanjut, ini tidaklah sesulit yang dibayangkan. Salah satu pelopor teori ini adalah Ivan Pavlov yang menggunakan anjing sebagai objek penelitiannya:



Sudah mulai dapet gambaran? Pasti sudah ^.^
Nah, untuk lebih memperjelas lagi, saya akan menghadirkan contoh lagi yang saya alami sendiri tentang Classical Conditioning. Cekidot!

Salah satu peristiwa yang pernah saya alami terkait dengan Classical Conditioning terjadi ketika saya masih duduk di bangku sekolah dasar. Pada masa itu yang saya rasakan sepulang sekolah adalah rasa senang/bahagia. Dan bisa saya pastikan itu bukan rasa bahagia karena kegiatan sekolah pada hari itu telah selesai, tetapi rasa bahagia yang lain. Mengapa saya bisa seperti itu?
Berikut adalah peristiwa Classical Conditioning dengan komponen sebagai berikut:
Unconditionined Stimulus (UCS)   = Dijemput orang tua
Unconditionied Respons (UCR      = Rasa Bahagia
Conditionied Stimulus (CS)             = Pulang Sekolah
Conditionied Respons (CR)            = Rasa Bahagia

(UCS) Dijemput orang tua à (UCR) Rasa Bahagia
(UCS) Dijemput orang tua + (CS) Pulang Sekolah à (UCR) Rasa Bahagia
(CS) Pulang Sekolah à (CR) Rasa Bahagia

Dengan kata lain, tiap kali pulang sekolah saya selalu merasa bahagia karena orang tua saya (ayah, atau ibu atau keduanya) akan menjemput saya pulang dari sekolah. Karena itu juga merupakan salah satu bentuk perhatian dan kasih saya orang tua terhadap anaknya. Rasa bahagia yang saya miliki saat itu juga dilandasi karena adanya rasa aman jika dijemput langsung oleh orang tua.
Namun seiring dengan berjalannya waktu, orangtua mencoba menumbuhkan rasa kemandirian di dalam diri saya, serta kemampuan untuk menjaga diri saya sendiri. Sehingga mereka mulai mengurangi frekuensi menjemput saya sepulang sekolah. Dan ketika stimulus ini perlahan menghilang, itu juga berdampak kepada hilangnya rasa bahagia (CR) dalam diri saya sepulang sekolah.

Sabtu, 10 Maret 2012

Manfaat E-mail dan Blog serta Fenomena Pendidikan


Bagaimana pandangan dan penilaian kelompok Anda sehubungan dengan kewajiban setiap mahasiswa yang mengikuti mata kuliah Psikologi Pendidikan 3 sks T.A 2011/2012  harus memiliki email dan blog ditinjau dari uraian Psikologi Pendidikan dan fenomena pendidikan di Indonesia, Medan khususnya?


Penjelasan: Kami sebagai mahasiswa yang mengambil mata kuliah Psikologi Pendidikan diwajibkan pada semester ini untuk memiliki blog dengan email akun gmail, berdasarkan hasil pengamatan kelompok kami, penggunaan blog sebagai media pembelajaran mendatangkan dampak yang positiif. Bila ditinjau dari teori atau pandangan yang dikemukakan oleh tokoh Psikologi Pedidikan hal ini sngat berhubungan:
 
1.       William James
Pandangannya: “Mulai mengajar pada titik yang sedikit lebih tinggi diatas tingkat pengetahuan dan pemahaman anak dengan tujuan untuk memerluas cakrawala pemiikiran si anak.”
Jika dihubungkan dengan pandangan James ini. Ketika mahasiswa diwajibkan untuk memiliki blog (yang mungkin belum pernah dilakukan sebelumnya dan menjadi pengalaman baru bagi mahasiswa) maka hal ini bisa mejadi salah satu cara bagi mahasiswa untuk memperluas pemikiran dengan mencari sumber informasi yang dapat membantunya untuk membuat serta mengembangkan blog tersebut. Jadi dapat dengan jelas terlihat manfaat dari blog sebagai sesuatu yang diwajibkan dalam mata kuliah Psikologi Pendidikan ini.

2.      John Dewey
1)      Pendapatnya: “Anak adalah pembelajar aktif.”
Ketika ditugaskan untuk membuat blog dan mempostingnya,  menunjukkan sisi aktif dari mahasiswa tersebut. Mahasiswa bukann lagi hanya sebagai pelajar pasif yang duduk diam dan menerima materi dari dosen, tetapi mahasiswa sudah dituntut untuk berpartisiasi aktif dalam proses belajar mengajar meskipun melalui dunia maya.
2)   Pendapatnya: “Pendidikan seharusnya difokuskan pada anak secara keseluruhan dan memperkuat kemampuan anak untuk berdaptasi dengan lingkungannya.”
Ketika ditugaskan membuat blog dan mengelolanya, mahasiswa tidak hanya mendapat pelajaran akademik saja, tetapi juga diberikan keleluasan untuk mengembangkan kreatiftasnya, dan melakukan adaptasi dalam penggunaan blog serta menjalin relasi dengan pengguna blog (blogger) lain, yang tidak lain adalah mahasiswa dan dosen pengampu.

3.      E. L. Thorndike
Pendapatnya: “Law of effect = Konskekuensi dari perilaku menentukan apakah periaku tersebut akan dilakukan lagi di kemudian hari.”
Dalam proses pembelajaran menggunakan media blog, ketika mahasiswa mendapat feed back dari dosen pengampu (berupa komentar atau balasan via email), mahasiswa tersebut merasa nyaman dan diperhatikan sang dosen, besar kemungkinan di kemudian hari mahasiswa akan menuangkan kreatifitasnya yang lebih lagi agar kembali diperhatikan oleh sang dosen.



FENOMENA PENDIDIKAN
Banyak fenomena yang terjadi dalam dunia pendidikan di Indonesia, fenomena-fenomena tersebut sudah lazim terjadi bahkan dapat dengan mudah kita jumpai di sekitar kita. Salah satu fenomena pendidikan yang terjadi di Indonesia adalah adanya kesenjangan sosial yang mengakibatkan terjadinya perbedaan kualitas pendidikan yang diperoleh. Kehidupan di perkotaan cenderung memiliki kualitas pendidikan yang jauh lebih baik dibandingkan di pedesaan. Pendidikan di perkotaan jauh lebih canggih dan lebih modern dibandingkan di pedesaan yang bahkan terkadang memiliki bangunan sekolah yang sudah tidak layak pakai. Tidak hanya itu, sekolah yang ada di pedesaan terkadang memiliki jarak yang cukup jauh dari pemukiman warga yang menyebabkan anak-anak yang ingin ke sekolah harus berjalan kaki  berjam-jam bahkan harus menyeberangi sungai dengan jembatan yang hampir ambruk. Seperti  yang baru-baru ini diberitakan bahwa di daerah Banten anak-anak menyeberangi jembatan yang terputus demi berangkat ke sekolah, tentu saja hal ini membahayakan diri mereka sendiri. Hal ini sangat bertolak belakang dengan kualitas dan fasilitas pendidikan yang disediakan di perkotaan. Anak-anak di perkotaan dapat dengan mudah berangkat ke sekolah tanpa harus menyebrangi sungai terlebih dahulu, selain itu sekolah mereka sudah berstandar internsional dengan kualitas staf pegajar yang jauh lebih baik dibandingkan staf pengajar di pedesaan. Hal ini seharusnya sudah dapat diperbaiki oleh pemerintah dengan membentuk suatu sistem pendidikan yang baru yang dapat memberikan kualitas dan fasilitas pendidikan yang merata di berbagai daerah di Indonesia karena setiap anak memiliki hak yang sama dalam dunia pendidikan tanpa harus membedakan status sosial. Dengan begitu kualitas pendidikan di Indonesia dapat menjadi lebih baik lagi.


Sumber: Santrock, John W. 2011. Psikologi Pendidikan. Edisi kedua. Jakarta: Kencana